Pemerintah didesak menghapus rencana mengubah skema subsidi Kereta Rel Listik (KRL) yang saat ini berbentuk PSO atau pengurangan tarif menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) karena dianggap "tidak masuk akal dan bakal memicu benturan sosial," menurut pengamat transportasi.
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan di belahan dunia mana pun transportasi massal menggunakan tarif tunggal lantaran pelayanan yang diberikan sama untuk semua penumpang.
Komunitas pengguna KRL, Jalur5 Community dan KRL Mania, juga menyatakan menolak skema subsidi berbasis NIK mengingat data masyarakat miskin di Indonesia amburadul dan rentan salah sasaran.
Merepons berbagai kritik tersebut, Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan "belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK".
Lalu, apa dampaknya jika diberlakukan?
Lewatkan Artikel-artikel yang direkomendasikan dan terus membaca
Artikel-artikel yang direkomendasikan
Buruh India yang terlilit utang temukan berlian senilai Rp1,5 miliar
Biaya hidup terus naik, apakah usia pensiun bisa bergeser?
Duduk terlalu lama dapat memicu penyakit jantung dan diabetes, bagaimana mencegahnya?
'Saya kerja halal, enggak merugikan orangβ β Polemik penertiban parkir liar yang disebut tidak selesaikan akar persoalan, mengapa sulit diberantas?
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Penetapan tarif KRL berbasis NIK dihujat warganet
Kritik dan penolakan atas rencana pemerintah untuk menetapkan tarif Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menjadi berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) masih disuarakan warganet di media sosial.
Di X bertebaran poster penolakan dengan narasi: "Sudah sesak tambah dipalak, tolak skema subsidi KRL berbasis NIK".
Mayoritas komentar yang berseliweran menyatakan ketidaksetujuan terhadap wacana perbedaan tarif. Sebab transportasi umum seharusnya terbuka untuk siapa pun serta mudah diakses oleh masyarakat luas tanpa memandang kelas ekonomi.
Hentikan Twitter pesan, 1
Izinkan konten Twitter?
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Twitter pesan, 1
Lewati Podcast dan lanjutkan membaca
Investigasi: Skandal Adopsi
Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu
Episode
Akhir dari Podcast
Misael S, salah satu pendiri Jalur5 Community, termasuk yang tak setuju kalau rencana itu dijalankan karena dianggap tidak jelas landasannya dan bisa memicu keributan.
"Di mana-mana transportasi massa itu tarifnya satu dan sama, mau kaya atau miskin enggak dibeda-bedakan. Jadi saya bingung dan kaget akan ada pemisahan tarif subsidi bagi yang kurang mampu, padahal layanannya sama," ujar Misael kepada BBC News Indonesia, Senin (02/09).
Misael merupakan pengguna setia KRL. Saban hari dia mengandalkan kereta komuter Jabodetabek untuk berangkat dan pulang kerja dari Jakarta ke Tangerang.
Kereta komuter dipilih karena bebas macet dan ongkosnya murah.
"Ada sih transportasi altenatif lain ke Tangerang, tapi macet di jalan tol. Jadi mau enggak mau, naik kereta komuter."
Ia bercerita sejak wacana akan adanya skema baru penetapan tarif kereta komuter berbasis NIK, para pengguna KRL Jabodetabek resah. Mereka khawatir bisa memicu pertengkaran antar-sesama penumpang nantinya.
Sebab para penumpang yang menerima subsidi akan diminta mengalah dan mendahulukan yang non-subsidi.
"Bisa-bisa terjadi keributan di dalam kereta, karena ada dualisme tarif itu. Sekarang aja data orang kurang mampu atau miskin rawan disalahgunakan. Apalagi cuma kereta?"
Hentikan Twitter pesan, 2
Izinkan konten Twitter?
Artikel ini memuat konten yang disediakan Twitter. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca Twitter kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.
Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal
Lompati Twitter pesan, 2
Pengurus KRL Mania, Nur Cahyo, juga sependapat.
Kata dia, penerapan tarif berdasarkan NIK tidak akan tepat sasaran. sem*ntara konsep transportasi umum adalah layanan yang diberikan kepada semua orang tanpa memandang kemampuan ekonomi atau domisi penggunanya.
"Masak naik kereta komuter disamain sama bansos? Heran saya... terlalu kreatif yang bikin kebijakan," ucapnya saat dihubungi BBC News Indonesia.
"Harusnya pemerintah bersyukur adanya kereta komuter ini orang-orang kelas menengah mau pindah dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, bukan malah direco*kin," sambungnya.
Baca juga:
- Mengapa Tapera disebut 'tidak masuk akal' menyediakan hunian rakyat yang terjangkau?
- Presiden Jokowi dua kali anulir pembatasan pembelian BBM subsidi, apa sebabnya?
Menurut dia, jika pemerintah merasa perlu memberikan tarif subsidi kepada kelompok tertentu, maka bisa saja diberikan langsung kepada kelompok pelajar, lansia, dan penyandang disabilitas. Tanpa harus membeda-bedakan tarif.
Mengapa polemik ini muncul?
Semua keributan ini bermula dari terungkapnya dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025.
Dalam dokumen yang diserahkan pemerintah kepada DPR untuk dibahas bersama itu tercantum beberapa perbaikan yang akan dilakukan untuk skema Kewajiban Pelayanan Publik (PSO) Kereta Api.
Salah satunya adalah perbaikan pada sistem tiket elektronik KRL Jabodetabek, yang disebutkan "perbaikan akan dilakukan dengan menggunakan tiket elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) bagi pengguna KRL".
Tujuan dari penerapan skema itu "agar subsidi yang diberikan lebih tepat sasaran," kata Juru bicara Kemenhub Adita Irawati.
Namun demikian, menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, Risal Wasal, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan diberlakukan dalam waktu dekat.
Ia pun tidak memberikan spesifik waktu kapan perubahan mekanisme ini akan diterapkan.
Yang jelas Kemenhub, klaimnya, masih membuka ruang diskusi untuk menerima berbagai masukan dari akademisi maupun masyarakat untuk menilai kebijakan baru tersebut.
Sehingga harapannya, tidak akan memberatkan pengguna layanan KRL.
Apakah skema tarif berbasis NIK solusi yang tepat?
Pengamat transportasi yang juga Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan Pasal 66 UU BUMN mengamanatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik.
Bentuk PSO yang diberikan pemerintah untuk transportasi umum khususnya kereta komuter, kata Herlambang, adalah "menanggung selisih harga" biaya produksi atau sarana kereta api.
Ia mencontohkan biaya produksi untuk satu penumpang dengan jarak 25 kilometer bisa mencapai Rp20.000.
Namun karena pemerintah memberikan subsidi PSO, maka tarif yang dikenakan kepada pengguna hanya Rp3.000.
"Jadi pemerintah mensubsidi satu orang Rp17.000. Mahal memang, tapi kan ada benefitnya [keuntungan]," ujar Herlambang kepada BBC News Indonesia.
Keuntungan yang dimaksudnya itu antara lain bisa mengurangi kemacetan, mengurangi emisi karbon alias polusi, hingga mengurangi angka kecelakaan di jalan raya.
Itu mengapa baginya pemberian PSO untuk transportasi publik harus digelontorkan sebanyak-banyakanya. Tujuannya agar makin banyak orang beralih menggunakan transportasi umum.
Karena bagaimanapun dananya berasal dari pajak rakyat.
"Nah bagaimana kalau semisal orang bayar pajak lalu justru naik angkutan umum subsidinya dicabut? Itu kan masalah."
Baca juga:
- Tarif KRL untuk orang kaya 'naik' dikritik warganet, pakar transportasi sebut pemerintah 'blunder karena tak paham konsep transportasi publik'
- Impor KRL tidak dapat restu pemerintah, 'pengguna bisa kembali ke zaman atapers'
"Di China itu angkutan umumnya murah tarifnya, tapi kalau beli bensin mahal karena BBM tidak disubsidi. Di Hong Kong juga demikian, pengguna angkutan umumnya sudah 92%."
"Dan yang harus diketahui ya, di belahan dunia mana pun enggak ada dalam satu kelas pelayanan kereta tapi tarifnya berbeda-beda, enggak ada... mungkin kalau ada cuma di Indonesia," ucapnya sembari tertawa.
Bersandar atas hal itulah, Herlambang mengaku heran dan tak mengerti dasar pemerintah ingin menerapkan skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Selain karena data masyarakat miskin di Indonesia amburadul dan rentan salah sasaran, pemerintah juga dianggap pilih kasih.
Merujuk pada Dokumen Buku Nota Keuangan RAPBN 2025 disebutkan anggaran subsidi untuk kendaraan listrik termasuk sepeda motor, mobil dan bus akan mencapai Rp9,2 triliun pada 2024.
Sedangkan untuk Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik hanya Rp7,9 triliun.
"Ini kan aneh harusnya subsidi untuk angkutan massal lebih banyak."
"[Pembeli mobil listrik] itu kan jelas orang mampu, sudah bikin macet, enggak bayar pajak setahun, potensi kecelakaan ada. Kan enggak adil bagi pengguna transportasi publik," tegas Herlambang.
"Jadi kalau bicara subsidi agar tepat sasaran, mana yang layak disubsidi?"
Bagaimana skema yang ideal?
Herlambang mendesak pemerintah agar mengubur dalam-dalam alias mencabut skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Sebab penetapan tarif yang berbeda-beda hanya memicu benturan bahkan konflik sosial.
Menurutnya, pemberian Public Service Obligation (PSO) atau kewajiban pelayanan publik harus tetap diberlakukan sembari pemerintah membuat kajian soal penyesuaian tarif yang wajar.
Diakuinya tarif yang saat ini berlaku memang "tidak lagi ideal" yakni Rp3.000 untuk 25 kilometer (km) pertama dan ditambah Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer.
Besaran tarif itu belum naik sejak 2016 sampai sekarang. sem*ntara inflasi terus naik dan infrastruktur seperti stasiun semakin baik dan nyaman, katanya.
"Memang harus ada penyesuaian tarif dan enggak masalah asal pelayanan juga sudah baik," ucapnya.
Soal besaran tarif, Herlambang memperkirakan kenaikan yang tidak memberatkan pengguna antara Rp2.000 - Rp3.000.
Tapi dia menekankan agar kenaikan itu tidak dilakukan dalam waktu dekat apalagi tahun 2025. Ini karena menurutnya, meski pelayanannya semakin baik tapi sarana dan prasarananya masih terbatas.
Dia mencontohkan lantaran banyak kereta komuter yang rusak, akibatnya jumlah rangkaian gerbong yang beroperasi tidak pernah penuh 12 rangkaian.
Baca juga:
- Penyebab kecelakaan kereta api di Cicalengka Bandung: Isu keselamatan dan proyek jalur ganda jadi sorotan
- Kereta cepat Jakarta-Bandung 'Whoosh' resmi diluncurkan, pemerintah diminta 'evaluasi' sebelum lanjutkan rute ke Surabaya
"Sekarang satu gerbong cuma delapan atau sepuluh saja yang beroperasi dan itu pun jarak lintasannya lima sampai sepuluh menit sekali."
"Jadi masih belepotan [layanannya]. Nanti setelah kereta-kereta baru dari China dan INKA datang, silakan kalau mau negosiasi penyesuaian tarif tahun 2026," ungkapnya.
Untuk diketahui PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) memesan 11 trainset impor dari China untuk KRL Jabodetabek. Adapun pemesanan kepada INKA hanya dua trainset.
Kereta baru impor itu dilaporkan akan tiba pada 2025 - 2026.
sem*ntara itu jika pemerintah tetap merasa perlu memberikan subsidi, maka bentuknya bisa berupa pemberian kartu khusus transportasi kepada kelompok tertentu.
"Misalnya dikasih kartu dengan isi saldo Rp300.000 sebulan dipakai untuk mobilitas transportasi, tapi dia ketika masuk stasiun tetap harus bayar dengan tarif yang sama."
"Intinya PSO jangan sampai dihilangkan."
Apa keputusan final pemerintah?
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, mengatakan "belum ada keputusan final terkait perubahan skema subsidi KRL dari PSO menjadi berbasis NIK".
Menteri BUMN, Erick Thohir, juga mengaku belum mendapatkan informasi detil mengenai rencana perubahan skema penetapan tarif kereta komuter Jabodebek.
"Kalau memang ada kebijakan seperti itu, ya saya rasa harus duduk bersama," ujarnya ditemui di DPR RI, Senin (02/09) seperti dilansir Antara.
Ia juga berkata sampai saat ini belum ada koordinasi dan pembahasan dengan Kementerian Perhubungan maupun Kementerian Keuangan. Bahkan rapat bersama Presiden Jokowi mengenai isu ini belum dilakukan.
"Kami belum, belum [duduk bersama]. Kan biasanya ada ratasnya dan biasanya, kan kami mengikut. Sepertinya [baru usulan], saya enggak tahu, soalnya saya baca di media juga," imbuhnya.
Namun, ia memastikan akan mendukung kebijakan apapun yang ditetapkan pemerintah. Sebab, sebagai instansi yang membawahi perusahaan pelat merah, tugasnya adalah menjalankan kebijakan yang ditugaskan pemerintah.
"Dan saya selalu mendukung kebijakan apapun yang diambil pemerintah, karena kami kan bagian dari pemerintah. Jadi kita tidak pernah bilang salah dan benar," jelasnya.
Erick menekankan hal yang sama berlaku untuk subsidi lainnya, seperti bahan bakar minyak (BBM) yang ditugaskan kepada PT Pertamina (Persero). Semua BUMN dinilai hanya mengikuti kebijakan yang diambil oleh pemerintah.